C E R I T A R
A K Y A T
Legenda Tuak (Aren-Bagot)
Dosen Pengampu
:
Ita Khairani,
S.Pd, M.Hum
Oleh:
KELOMPOK 1
Nama Nim
Paulina Monika Marbun 2171210008
Wahibah Nabila Purba 2173210012
Eka Minarni 2173210004
Josua Aprianto Manik 2173210012
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
MEDAN
2018
Pohon
aren atau sugar palm mempunyai banyak sebutan. Di daerah Sumatera saja ada
beberapa macam sebutan seperti: nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk,
ijuk, dan bagot. Tumbuhan yang hidup subur pada daerah dengan ketinggian
500-800 meter di atas permukaan air laut ini memiliki manfaat yang beraneka
ragam yang salah satunya adalah untuk dijadikan minuman keras yang disebut
tuak.
Bagi
masyarakat Batak, terutama yang berada di dataran tinggi, tuak tidak hanya
digunakan sebagai minuman penghangat tubuh saja, melainkan juga memiliki fungsi
sosial sebagai pelengkap dalam upacara-upacara adat tertentu, seperti: upacara
ompu-ompu dan upacara manulagi. Dalam Upacara Ompu-ompu minuman tuak digunakan
untuk menyirami beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang
yang sudah meninggal dunia. Sementara dalam Upacara Manulangi minuman tuak
digunakan sebagai persembahan kepada arwah seseorang yang telah meninggal
dunia.
Menurut
kepercayaan sebagian masyarakat Batak, pohon aren atau sugar palm tidak hanya
sebagai tumbuhan biasa yang menghasilkan tuak. Ia dipercaya sebagai jelmaan
dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu
dikisahkan dalam cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat
Tanah Karo. Ceritanya adalah sebagai berikut.
Alkisah,
pada zaman dahulu kala di sebuah desa di Tanah Karo hiduplah sepasang
suami-isteri yang rukun dan bahagia bersama dengan dua orang anaknya yang masih
kecil. Anak yang pertama laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan adiknya
perempuan bernama Beru Sibou.
Berikut Cerita Legenda Tuak :
LEGENDA TUAK (AREN-BAGOT)

Pohon Aren (Bagot)
photo by www.arenindonesia.wordpress.com
Legenda Tuak, Cerita Rakyat Simalungun
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari
seorang gadis bernama Boru Sabou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan
dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat
Simalungun, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Sabou
kepada abangnya. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang
dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk
menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya dipasung oleh penduduk negeri itu?
Bagaimana cara Boru Sabou menolong abangnya? Alkisah, pada zaman dahulu kala di
sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang
suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang
laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama
Boru Sabou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena
sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit
beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras,
membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil.
Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya
meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini
menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki
sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya,
adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi
pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Boru Sabou, tumbuh menjadi gadis remaja
yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai
berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari
uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus
menjadi beban bagi orang tua asuhnya. “Adikku, Sabou!” demikian si Tare Iluh
memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Sabou. “Kita sudah lama diasuh
dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki
merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi
merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh
kepada adiknya. “Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik
bertanya.“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil
mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,”
bujuk Tare kepada adiknya. “Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali
kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat
hati. “Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan. Keesokan harinya,
setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk
merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Boru Sabou sangat sedih. Ia
merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara
satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis
itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang
banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada
kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di
perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan
yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan
perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi
sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika
pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga
uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan.
Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam
uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia
mengalami kekalahan.Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak
dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat.
Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Boru Sabou. Ia sangat sedih
dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang.
Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu
di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Boru Sabou berjalan kaki tanpa
arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun
belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Boru Sabou bertemu dengan seor
ang kakek tua. “Selamat sore, Kek!” “Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?” “Tare Iluh, Kek!” “Tare Iluh…?
Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek
pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar
berjudi.” “Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang
dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu? “Maaf, Cucuku!
Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin
menyarankan sesuatu.” “Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di
puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa
mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi.
Sementara si Boru Sabou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon
yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si
Boru Sabou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia
juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi
melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Boru Sabou bernyanyi dan berteriak
di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak
membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga.
Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. “Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua
hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku
dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.” Baru
saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Boru Sabou, tiba-tiba angin
bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya
diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Boru Sabou
tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau
nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat
dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat
menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau
minuman. Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara.
Hingga kini, masyarakat Simalungun meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan
si Boru Sabou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Simalungun pada
jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.
Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren,
dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini
dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk,
kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan
mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur,
terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut,
misalnya di Tanah Karo dan Simalungun di Sumatera Utara. Tumbuhan enau atau
aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman
serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain
sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara,
terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi. Dalam tradisi orang Batak, tuak
juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu
dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram
beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah
bercucu meninggal dunia. Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan
salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang
yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya.
Salah Seorang bapak sedang memanjat pohon enau (bagot)
untuk mengambil nira atau Tuak
Photo by www.arenindonesia.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar